Memaafkan, tidak Melupakan
Kemarin hari Kamis (Juni 6, 2013) Menteri Luar Negeri Inggris William Hague atas nama pemerintah Inggris mengeluarkan pernyataan permohonan maaf dan “sincere regret” atau rasa penyesalan yang tulus kepada ribuan korban kekejaman tentara Inggris di Kenya yang menahan dan menyiksa serta menghukum mati pejuang Kenya dalam pemberontakan yang dikenal sebagai pemberontakan Mau Mau pada tahun 1950 an. Pemberontakan ini bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Kenya dari penjajahan colonial Inggris selama bertahun-tahun. Dalam pernyataannya itu Menteri Luar Negeri Hague berjanji bahwa pemerintah Inggris berjanji akan memberi kompensasi sebesar 13,9 juta poundsterling atau $ 5,700 pada setiap korban pelanggaran HAM Inggris itu yang masih hidup berjumlah 5,228 orang.
Elkin, seorang penerima hadiah “Pulitzer Prize” yang mengarang buku berjudul “Imperial Reckoning: The Untold Story of British’s Gulag in Kenya” mengatakan bahwa Selama ini pemerintah Inggris tidak pernah mengucapkan maaf atas kolonialisme nya dimana-mana; dan ini adalah pernyataan pertama kali dari negeri yang pernah “Rules the Waves” ini.
Ribuan pejuang Kenja ditahan dan disiksa termasuk kakek dari Presiden AS Obama, sesuai penuturan nenek tiri Presiden Obama, Sarah Onyango Obama. Kebrutalan pemerintah Inggris itu sangat dirahasiakan sampai-sampai Penuntut Umum Inggris di Kenya, Eric Griffith Jones berkata pada Gubernur, Sir Evelyn Baring dalam suratnya tahun 1957 bahwa: “Jika…kita akan melakukan dosa, maka kita harus melakukannya secara diam-diam”. Pemberontakan Mau Mau itu dimulai tahun 1952 dan berlangsung sampai 1960; dan pada tahun 1963 Kenya merdeka. Menurut Komisi HAM Kenya, ada sekitar 90,000 oang Kenya yang dibunuh dan 160,000 orang di tahan di penjara yang kondisinya jelek dalam kurun waktu pemberontakan itu.
Pengumunan pernyataan permintaan maaf pemerintah Inggris ini di terima dengan lega oleh para pejuang yang masih hidup dan para keluarga yang ditinggal mati serta para pegiat HAM di Kenya yang secara terus menerus memperjuangkan hak-hak para pejuang itu.
Negeri kita Indonesia yang bangsanya dikenal sebagai bangsa yang santun dan ramah tamah ini juga tak luput dari kekejaman penjajah dari Eropa dan Asia. Indonesia berturut-turut di jajah Portugis selama 5 tahun, Inggris 5 tahun, Belanda 350 tahun dan Jepang 3,5 tahun. Selama ratusan tahun itu juga para pejuang bangsa Indonesia mengalami penyiksaan dan pembunuhan, Salah satu contoh, kasus Pembantaian rakyat Indonesia oleh pasukan Belanda “Depot Speciale Troepen” pimpinan Kapten Raymond Pierre Pau Westerling. Peristiwa pembantaian itu terjadi pada bulan Desember 1946- Februari 1947 selama operasi militer “Counter Insurgency” atau penumpasan pemberontakan di Sulawesi Selatan. Kapten Belanda ini dengan pasukannya disebut-sebut dengan sadis membunuh 40,000 rakyat sipil di Sulawesi Selatan.
Kapten yang brutal ini tidak pernah diadili di negerinya, dan pemerintah Belanda juga tidak pernah mengucapkan “Maaf yang Tulus” kepada rakyat Indonesia, apalagi memberi kompensasi.
Rakyat Indonesia juga tidak hanya di tahan dan dibunuh para negeri-negeri penjajah itu tapi juga harga dirinya diinjak-injak serta sumber alamnya yang kaya raya dirampok habis-habisan selama ratusan tahun itu. Cerita tentang pembunuhan rakyat sipil itu tidak hanya terjadi di Sulawesi Selatan saja tapi juga terjadi di seluruh daerah di tanah air yang luas ini.
Entah karena bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang pemurah dan pemaaf, sehingga sampai saat ini jarang kita dengar ada tuntutan dari negeri ini kepada para penjajah itu permintaan maaf atas kekejamaannya selama era kolonialisme mereka di Indonesia. Jarang pula kita dengar para aktivis HAM Indonesia yang menyuarakan hak-hak para pejuang kita.
Mungkin juga kita menganut paham Nelson Mandela dari Afrika Selatan: “Forgive but not Forgotten”.
*Alumni University of London,
Universitas Airlangga Surabaya,
Dosen di STIE PERBANAS Surabaya.
0 comments → Memaafkan, tidak Melupakan
Post a Comment